Jakarta, Merdekasumsel.com - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim BA MBA mengungkapkan pihaknya ingin mengubah pendidikan Pancasila menjadi lebih holistik, kreatif dan tidak hanya sekedar hapalan sehingga mudah diterima oleh generasi muda.
Hal itu diungkapkankan Mendikbudristek dalam Webinar dalam rangka Pra-Kongres PA GMNI yang mengambil tajuk 'Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial' yang dilaksanakan pada Jumat (7/4/21).
"Pancasila akan terus menjadi falsafah dan ideologi bangsa Indonesia. Perlu menyempurnakan cara mengajarkan Pancasila kepada anak karena selama ini pendidikan Pancasila lebih banyak pada hafalan tanpa dibarengi contoh dan teladan nyata sehari-hari sehingga nilai dan gagasan mulia Pancasila sulit diinternalisasi generasi muda," ujarnya.
Pihaknya ingin mengubah pendidikan Pancasila menjadi lebih holistik dan kreatif, misalnya pembelajaran berbasis proyek-proyek sosial yang akan membentuk pelajar Pancasila di lapangan.
"Keberagaman juga bisa dipelajari lewat pertukaran pelajar yang berbeda golongan, tingkat sosial ekonomi, agama dan perbedaan lain. Mereka akan berbaur tidak hanya mencintai toleransi tetapi juga menjadikan toleransi bagian kehidupan sehari-hari," katanya.
Wakil Ketua MPR yang juga Ketua Umum Persatuan Alumni GMNI (PA-GMNI), Dr Ahmad Basarah menyambut baik gagasan para narasumber dalam Webinar Pra-Kongres PA GMNI itu.
Menurut Ahmad Basarah, untuk mewujudkan keadilan sosial, peradaban bangsa, pengembangan riset dan teknologi nasional harus berbasis pada keanekaragaman hayati, geografi dan seni budaya lokal yang bersumber nilai-nilai Pancasila dan kearifan lokal bangsa Indonesia.
Webinar yang digelar dalam rangka menyambut Kongres IV PA GMNI di Bandung pada 21–23 Juni 2021 mendatang itu selain menghadirkan Mendikbudristek juga Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN, Dr Laksana Tri Handoko, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM dan Ketua DPD PA GMNI DIY, Prof Dr Paripurna Poerwoko Sugarda serta Ketua Bidang Riset, Teknologi dan Informasi DPP PA GMNI/Institut Sarinah, Dra Eva Kusuma Sundari MA MDE dan dipandu oleh Ketua Bidang Ideologi DPP PA GMNI dan Guru Besar ITB Prof Nanang Tyas Puspito.
"Fokus riset Indonesia ke depan pada digital, green dan blue economy. Basisnya sumber daya lokal dan keanekaragaman hayati, geografis, serta seni budaya. Riset berperan penting dan menyokong keanekaragaman di Indonesia sehingga mempunyai nilai ekonomi," ujar Kepala BRIN Laksana Tri Handoko.
Saat ini, menurut Laksana, indonesia adalah negara kedua terbesar di dunia setelah Brazil yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati. Dicontohkan, kenapa produk seni budaya perlu ditopang riset dan teknologi. Para perajin rotan tentu sulit bersaing di pasar global jika hanya menjual bahan mentah.
Di satu sisi, produk kerajinan rotan bisa ditolak di pasar Eropa jika tidak memiliki sertifikasi keamanan produk. Jadi selain membuka peluang kreatif para perajin namun juga ada aspek riset dan teknologi agar produk budaya nasional diterima pasar.
"Dunia ke depan bukan lagi digital atau elektronik melainkan bioteknologi. Kita yang punya banyak koleksi biodiversity, harus lebih unggul dibanding negara lain. Oleh karena itu, kita perlu melakukan refocusing pada kekayaan alam dan budaya kita lewat dukungan riset yang kuat," jelas pria pernah menjabat Kepala LIPI tersebut.
Sebagai lembaga baru Kepala BRIN menjelaskan arah baru riset dan inovasi Indonesia yakni untuk melakukan konsolidasi sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi yang sebelumnya tersebar di beberapa institusi pemerintah. BRIN juga menciptakan ekosistem riset standar global yang inklusif dan kolaboratif serta diharapkan dapat menghasilkan fondasi ekonomi yang berbasis riset yang kuat dan berkesinambungan.
Targetnya antara lain konsolidasi lembaga riset utama pemerintah pada 1 Januari 2022, transformasi proses bisnis dan manajemen riset secara menyeluruh untuk percepatan peningkatan critical mass sumber daya manusia, infrastruktur, dan anggaran iptek, menjadikan Indonesia sebagai pusat dan platform riset global berbasis riset berbasis sumber daya alam dan keanekaragaman (hayati, geografi, seni budaya) lokal.
Selain itu mendorong dampak ekonomi langsung dari aktivitas riset dan menjadikan iptek sebagai tujuan investasi jangka panjang dan penarik devisa.
Sementaea itu, Paripurna Purwoko Sugarda, Wakil Rektor Bidang Kerjasama UGM mendukung apa yang disampaikan Laksana Tri Handoko soal kemajuan bangsa berbasiskan keanekaragaman hayati.
Ia menjelaskan kebutuhan energi di Indonesia yang sangat besar merupakan peluang untuk mengembangkan energi terbarukan (renewable energy). Indonesia punya potensi besar atas energi terbarukan seperti tenaga angin, air, ombak, tenaga surya, panas bumi, biomass dan lain sebagainya.
"Agar menjadi pemenang bidang energi di tingkat ASEAN, Indonesia perlu mengembangkan biofuel dan biomass, mengembangkan strategi teknologi energi, mendorong energi terbarukan berbasis maritim, serta mendukung memperbarui limbah air sehingga dapat digunakan kembali," jelas Prof Paripurna.
Bagi Paripurna, melahirkan teknologi hingga hilirisasi tepat guna bukanlah hal yang sederhana. Membutuhkan kolaborasi pentahelix, mulai dari institusi negara, lembaga riset, kolabolariasi dengan BUMN dan sektor industri lain, menguatkan startup tanah air, bahkan harus cerdik menghadapi kompetitor teknologi dari negara lain.
"Mindset nasionalisme teknologi itu harus kita alami. Fanatik terhadap teknologi dalam negeri harus ada serta mencegah terburu-buru membeli teknologi asing dengan alasan lebih murah," ungkap Guru Besar Fakultas Hukum UGM.
Bagi Laksana Tri Handoko, tantangan global bisa diatasi kalau bangsa ini mempunyai data riset berbasis ilmiah, memperkuat SDM riset dengan menarik talenta muda Indonesia dalam dan luar negeri, dan regulasi yang memberikan perlindungan kepada pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Menyikapi termarjinalkan kaum perempuan dalam penguasaaan teknologi dan akses pendidikan, Eva Kusuma Sundari, Ketua Bidang Riset,Teknologi, dan Informasi DPP PA GMNI, mengingatkan prinsip ajaran Bung Karno soal tidak boleh ada rakyat kelaparan, kemiskinan dan tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Tidak boleh ada eksploitasin manusia atas manusia serta bangsa terhadap bangsa lain.
Eva merujuk pada survei pengembang perangkat lunak global (2020), sebagian besar pengembang adalah berjenis kelamin laki-laki 91,5%, perempuan hanya 8,5%. Realitas pekerjaan pengembangan perangkat lunak didominasi pria.
"Adanya problem kultur tentang rendahnya perempuan yang berkiprah di bidang teknologi karena mereka sejak kecil tidak dididik sebagai risk taker yang boleh salah mengambil keputusan. Sementara laki-laki waktu kecil dididik sebagai risk taker," imbuhnya.
Solusi mengatasi kesenjangan tersebut, menurut Eva Sundari, ialah perlunya dorongan agar pendidikan teknologi bisa diakses bagi perempuan dan anak miskin. Karena biaya pendidikan teknologi mahal, ada problem stigmatisasi terhadap perempuan dan anak miskin yang takut menjangkaunya. Hal ini harus diperangi agar mereka mendapatkan akses pendidikan dan teknologi yang inklusif. Kondisi ini juga terkait beban ganda yang dialami perempuan yang jatuh miskin di saat pandemi Covid-19 saat ini.(05)
0 komentar:
Posting Komentar